Tana Toraja
yang akrab disapa “Tator” sebagai salah satu kabupaten di Sulsel, memiliki
aneka simbol dan produk budaya yang sangat menarik diteliti. Berdasarkan hasil
observasi yang dilakukan oleh Koes Hadinoto pada tahun 1989, susunan obyek
wisata Tana Toraja terdiri atas: panorama alam, kebudayaan dan pola kehidupan
masyarakat, peninggalan sejarah dan kepurbakalaan, upacara ritual rambu tuka’
dan rambu solo, seni tari dan kesenian, seni lukis, industri rumah dan
kerajinan tangan.
Panorama
alam nan indah sebagai ciri khas Tana Seribu Tongkonan ini, terdiri atas
bukit-bukit batu menjulang tinggi, lembah-lembah yang hijau serta hamparan
sawah yang berpetak-petak, sungguh merupakan anugerah sang pencipta yang patut
disyukuri. Bahkan perpaduan harmonis antara alam yang indah dengan udara sejuk
dan bersih ditandai oleh munculnya kabut di pagi hari tersebut merupakan unsur
pendukung sejumlah daya pikat yang dimilikinya.
Berdasarkan
catatan sejarah, Tana Toraja dahulu bernama Tondok Lepongan Bulan Tana
Matarik Allo. Secara harafiah terminologi ini menggambarkan sebuah negeri
yang bulat sebagai simbol kesatuan, bulat bagaikan bulan dan matahari. Secara
filosofis diartikan sebagai sebuah negeri dimana bentuk pemerintahan serta
masyarakatnya merupakan suatu kesatuan bulat, utuh dan tak terpisahkan.
Ideologi pemersatu dan alat perekat sosio-kultural mereka, yakni keyakinan pada
Aluk Todolo. Warisan leluhur ini memuat nilai-nilai atau aturan yang
bersumber dari negeri Marinding Banua Puang yang dikenal dengan Aluk Pitung
Sa’ bu Pitu Ratu’ Pitung Pulo Pitu atau Aluk Sanda Pitunna
(aturan/agama 7777).
Para ahli
sejarah dan ahli budaya telah menyatakan bahwa penduduk yang pertama-tama
menguasai Tondok Lepongan Bulan Tana Matarik Allo pada zaman
purba adalah penduduk yang berasal dari luar Sulawesi Selatan yang diperkirakan
datang pada sekitar abad ke-6. Mereka datang dengan perahu/sampan melalui
sungai- sungai yang besar, dan menuju ke pegunungan Sulawesi Selatan akhirnya
menempati daerah pegunungan termasuk Tana Toraja. Kedatangan mereka secara
berkelompok yang dalam sejarah Toraja dinamai Arroan (kelompok manusia )
dan menyusuri sungai-sungai dengan mempergunakan perahu. Segera setelah itu,
mereka itu tak dapat lagi melanjutkan pelayaran karena air sungai deras dan
berbatu-batu. Karena itu, mereka lalu menambat perahu-perahunya di
pinggir-pinggir sungai dan tebing-tebing gunung yang dilalui oleh sungai.
Kondisi pemukiman awal yang menggunakan perahu seperti inilah mungkin yang
menjadi alasan mengapa dalam sejarah Toraja dan dongeng Toraja sangat terkenal
suatu istilah yakni Banua di Toke‘ (Banua = rumah di Toke’
= digantung).
Nama Toraja
mulai dikenal setelah adanya hubungan Tondok Lepongan Bulan Tana
Matarik Allo dengan daerah luar seperti Bugis Makassar. Kata Toraja berasal
dari kata To yang berarti orang dan Riaja yang bermakna di
atas atau orang yang berdiam di atas pegunungan sebelah utara daerah Sidenreng.
Konon nama ini, diberikan oleh orang Bugis Luwu dan daratan Bugis lainnya.
Dengan demikian, penggunaan istilah Toraja untuk pertama kali secara resmi
dipakai untuk menyebut nama wilayah administratif pemerintahan Zelfbestuur
Tana Toraja pada masa pemerintahan Negara Indonesia Timur (NIT) pada tahun
1947. Pada tahun 1959, wilayah ini menjadi daerah Kabupaten Tana Toraja di
bawah pangkuan Negara Republik Indonesia.
Sejarah Tana
Toraja berikut sejumlah warisan kultural yang dimiliki tersebut, tentu saja
akan memikat setiap orang yang berkunjung. Bahkan akan merasa takjub seperti
halnya sejarawan kondang sekaliber Herodotus yang menyatakan kekagumannya pada
warisan kebudayaan Mesir kuno abad ke-5 SM. Keanehan Mesir berdasarkan hasil
penelitian beliau setelah melakukan perjalanan wisata berkeliling negeri ini,
pada masa berikutnya sempat dibuktikan oleh para peneliti. Bahkan mereka yang
sempat melakukan perjalanan ilmiahnya di negeri Mesir, menurut catatan Lionel
Casson dalam buah penanya “Ancient Egypt” merasa kerdil di hadapan
patung-patung yang menjulang tinggi.
Keistimewaan
dan daya tarik Tana Toraja terutama aneka warisan budayanya, tidaklah (mungkin
belum) sebesar Mesir Kuno yang telah mempunyai reputasi internasional serta
menjadi obyek penelitian masyarakat ilmiah dunia. Akan tetapi walaupun mereka
yang mengunjungi secara fisik tidaklah merasa kerdil seperti halnya kaum
ilmiawan melihat patung raksasa di Mesir, dapat dipastikan bahwa mereka yang
mengunjungi Toraja secara ilmiah akan merasa kerdil pula. Maksudnya, ketika
menelusuri aspek sosio-kultural masyarakat setempat sebagai patron budaya
kekaguman itu akan muncul terutama pada ekspresi budaya yang dimanifestasikan
melalui seni dan upacara suci.
Dalam
tradisi dan budaya masyarakat Toraja sejak dahulu hingga kini, dikenal upacara
Rambu Solo atau upacara pemakaman yang dilakukan pada saat matahari condong ke
Barat. Modus pelaksanaannya berupa pengorbanan hewan yakni kerbau atau babi
dilakukan di sebelah Barat dari rumah upacara. Pada umumnya upacara suci ini,
diselenggarakan pasca panen terutama pada bulan Juni hingga bulan Oktober
setiap tahun. Makna yang terkandung dalam upacara ritual ini yakni dimaksudkan
agar jiwa (arwah) dari para mendiang dapat diterima dengan baik di sisi Tuhan.
Selain
upacara ritual pemakaman (rambu solo), di kalangan masyarakat Toraja pun
memiliki tradisi unik dalam mengurus jenazah yang membedakannya dengan daerah
lain. Bukti konkret mengenai hal tersebut, tercermin melalui kuburan sisi batu
karang terjal Londa yang terletak sekitar 310 km dari Makassar dan 30 km dari
kota Makale. Untuk mengunjungi tempat ini, setiap orang harus menggunakan alat
penerangan (lampu) atau lentera karena letak kuburan itu di dalam gua yang
gelap. Gua-gua yang terbentuk secara alami selama berabad-abad lamanya
mempunyai ruang yang lebar dan luas sehingga memungkinkan untuk menyimpan peti
mayat di dalamnya.
Pemandangan
unik lainnya yakni peletakan peti mayat pada gua itu yang diatur sedemikian
rupa berdasarkan garis keluarga. Kuburan batu karang Londa yang terletak
sekitar 5 km dari kota Rantepao tepatnya di desa Tikuna Malenong Kecamatan
Sangalangi, secara ilmiah merupakan obyek penelitian yang sangat menarik terutama
bagi mereka yang mendalami disiplin ilmu sejarah.
Satu hal
yang tidak kalah menarik yakni pada makam kuno di Toraja terdapat
patung-patung, yang tentu tujuannya sebagai alat untuk mengenang wajah
seseorang yang dianggap mempunyai andil yang cukup penting dalam masyarakat.
Karena itu, wajar jika pembuatan patung-patung dikhususkan pada para keluarga
bangsawan Toraja.
Hal ini
mirip dengan tradisi orang Mesir Kuno yang berdasarkan sejarahnya, mengenal
ajaran tentang hidup abadi terutama bagi Fir’aun sesuai ajaran naskah keagamaan
kuno. Sebagai pencerminan hidup abadi yakni mereka bersedia bekerja keras
membuat pusara dan kuil besar yang terawetkan sejak 2000 tahun lalu. Nama raja
atau penguasa yang dituliskan tersebut itulah yang dianggap sebagai keabadian,
dimana orang akan selalu mengenangnya sepanjang masa.
Meskipun
demikian, pertanyaan historis dan kegelisahan kultural yang muncul yakni
akankah warisan budaya semolek “wajah” Tana Toraja ini akan tetap “kekal”
sebagaimana wujud pengabadian wajah sejumlah figur melalui patung-patung itu?.
Masih sanggupkah lafadz dzikir-dzikir sejarah yang berkumandang di antara
setumpuk godaan “syaitan globalisasi” melawan ketidakpedulian orang pada
dimensi masa lampau?. Di sinilah andil dan peran kita sebagai pemilik warisan
budaya diperlukan untuk senantiasa merawatnya lewat kesadaran sejarah dan
taubat budaya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar