Jumat, 06 April 2012

Kisah Pdt. Aris Van De Loosdrecht, Martir Tanah Toraja SHARE THIS


·        
·         Share on FriendFeed
·        
·         Digg
·        
·         submit to reddit
·        
·        
·        
·        
TAGS
Aris van de Loosdrecht dan Alida van de Loosdrecht
TORAJA (TCN) — Ini kisah Pendeta Antonie Aris van de Loosdrecht dan Alida van de Loosdrecht, misionari pertama yang memberitakan Injil ke Toraja,dan Martir Iman Tana Toraja.
Antonie Aris van de Loosdrecht dan istrinya Alidaadalah misionaris pertama yang menginjakkan kakinya di bumi Toraja. Atas jasanya masyarakat Toraja dapat mengenal Injil Kristus. Bahkan dapat dikatakan dari “benih” pelayanan mereka, Gereja Toraja dapat berdiri dan berkembang sampai sekarang.
Kisah perjuangan Pendeta Aris dan istrinya Ida van de Loosdrecht yang rela menyeberangi lautan meninggalkan keluarga dan orang-orang yang disayangi demi masyarakat Toraja yang tidak pernah mereka kenal sebelumnya, menjadi bagian yang perlu kita teladani. Sungguh suatu pelayanan yang tidak akan pernah dapat dibalas oleh masyarakat Toraja secara umum dan Gereja Toraja secara khusus. Injil yang bertumbuh dan menjadi dasar terbentuknya Gereja Toraja adalah Injil yang dihiasi dengan darah MARTIR Anton Aris van de Loosdrecht.
Aris van de Loosdrecht dan Alida van de Loosdrecht menikah pada 7 Agustus 1913. Kemudian mereka berangkat untuk memberitakan Injil ke Tanah Toraja pada tanggal 5 September 1913, ini berarti mereka pergi ke sebuah tempat yang baru dan sangat terpencil kurang lebih satu bulan setelah pernikahan mereka. Mereka tiba di Indonesia yang waktu itu dikenal dengan sebutan “Hindia Belanda”. Akan tetapi tujuan mereka bukanlah Indonesia, melainkan Tanah Toraja. Daerah ini merupakan daerah yang masih sangat terpencil, belum lagi ancaman dari penduduk asli yang saat itu masih sering mengadakan perburuan terhadap manusia (kalau kita tidak ingin menyebutnya sebagai kanibalisme).
Anton dan Ida (demikian panggilan mereka) tinggal di daerah Poso selama awal tahun 1914, di desa Tentena, sekitar 2000 Km timur laut Rantepao. Sebelum berangkat ke Rantepao, mereka dibantu oleh seorang penerjemah Alkitab N. Adriani, untuk menyesuaikan diri dan mengenal bahasa Toraja. Setelah merasa matang dengan pelatihan dan informasi yang didapatnya, mereka kembali ke Rantepao pada awal April.
Jelas bahwa Anton dan Ida sadar benar akan masalah bahasa yang menjadi kendala bagi mereka memberitakan Injil, karena itu mereka berusaha dengan sekuat tenaga untuk mempelajari bahasa Toraja.
Rumah Kediaman Aris van de Loosdrecht

Mereka tinggal di Rantepao dan mulai melaksanakan berbagai pelayanan mereka. Karena pelayanan mereka banyak masyarakat Toraja yang tertarik dengan Injil sekalipun pada saat itu ikatan adat dan kepercayaan animisme masih sangat kuat. Anton dapat menjalin hubungan yang begitu akrab dengan para kepala-kepala suku dan juga para parenge’ atau para imam. Salah satu parenge’ yang dikenalnya cukup baik, bahkan dapat dikatakan menjalin persahabatan dengannya adalah Pong Maramba. Dikemudian hari hubungan ini menjadi rusak karena Pong Maramba meminta kepada Anton untuk bersedia menjual istrinya. Tentu saja permintaan ini didasari atas budaya patriakhal yang melihat perempuan sebagai milik laki-laki sehingga dapat diperlakukan semaunya, termasuk dijual. Sekalipun Anton telah menjelaskan bahwa dalam agama Kristen istri bukanlah milik melainkan sebagai rekan sekerja yang sama derajatnya, namun Pong Maramba tetap tidak mengerti penolakan Anton. Namun akhirnya konflik ini selesai ketika
 Pong Maramba ditangkap dan dipenjarakan.
Selama melaksanakan pelayanan di Tana Toraja, mereka memfokuskan pada pembangunan sekolah-sekolah yang dapat menampung anak-anak Toraja untuk mendapatkan pendidikan yang layak. Anton sangat bekerja keras dalam hal ini, dalam salah satu suratnya ke Belanda, Alida mengatakan bahwa suaminya bekerja dari jam setengah enam pagi sampai jam sebelas malam. Dari surat-suratnya kita dapat menyimpulkan bahwa pasangan misionaris ini sangatlah ramah kepada masyarakat Toraja, hal ini diakibatkan karena mereka sendiri mendapatkan sambutan yang sangat ramah dan baik dari masyarakat Toraja. Selain itu mereka juga banyak memberikan pelayanan medis kepada masyarakat, dalam surat-surat mereka, mereka menjelaskan akan rendahnya kualitas kehidupan dan kesehatan masyarakat Toraja, bahkan para parenge’ mereka dalam kehidupan sehari-hari tidak jauh berbeda dengan kehidupan para budaknya.
Perkembangan misi yang dilakukan oleh pasangan misionaris ini sangat luar biasa, dalam beberapa waktu saja mereka telah berhasil mendirikan banyak sekolah, dan para guru-guru didatangkan dari daerah-daerah yang lebih dulu dikuasai oleh Belanda, seperti Ambon, Sangir, dan Manado. Akan tetapi jumlah orang yang dibabtis sampai saat itu belum ada. Hal ini disebabkan karena komitmen mereka akan pengejaran yang benar dan keyakinan yang kokoh dalam Kristus akan dicapai jika mereka dibaptis dengan pemahaman yang benar. Buah iman dari pelayanan mereka adalah dibaptisnya empat orang anak Toraja dari golongan parenge’ yang telah mengikuti katekisasi dalam waktu yang cukup lama. Anton tidak seperti pendeta-pendeta yang diutus dari Makassar di Makale. Ia sangat mementingkan kualitas iman yang lahir dari pemahaman yang benar akan iman Kristen, itulah sebabnya ia menolak membaptis keempat pemuda ini pada awalnya, ia memaksa mereka untuk harus ikut pelajaran Katekisasi dulu, jika mereka tidak ingin mereka boleh pergi ke Makale dan dibaptis oleh pendeta lain di sana.
Bersama Jemaat
Tantangan Injil di Toraja pada waktu itu ialah adat-istiadat Toraja dan terutama golongan orang-orang yang menikmati aturan-aturan adat tersebut. Mereka antara lain to parenge’ dan to Minaa (imam aluk Todolo). Selain itu ada juga tantangan dari sesama orang Kristen dan Belanda yang bekerja untuk pemerintah Hindia Belanda. Sekalipun mereka Kristen namun iman mereka bukanlah iman Kristen. Tingkah laku mereka sangat memalukan dan membuat orang-orang Kristen lainnya menjadi malu. Akan tetapi bagaimanapun juga pekerjaan pasangan penginjil ini tidak sia-sia, ini terbukti dengan didirikannya puluhan sekolah dengan jumlah murid ratusan orang.
Pada tanggal 26 juli 1917 Antonie Aris van de Loosdrecht menghembuskan nafas terakhirnya di Bori’. Sungguh suatu peristiwa yang sangat disayangkan harus terjadi. Misionaris ini meninggal setelah mengalami pendarahan yang hebat akibat luka tusukan tombak yang mengenai jantungnya.
Kronologis peristiwa tersebut di mulai ketika Anton pada hari tersebut berencana berangkat ke beberapa wilayah kerjanya, yaitu Nanggala, kemudian ke Balusu lalu mengakhiri perjalanannya di Bori’. Entah mengapa rencananya ini diubah, ia tidak berangkat ke Nanggala dulu, tetapi ia berangkat ke Bori lebih dahulu. Kira-kira jam empat sore ia berangkat ke Bori’ dan tiba di sana sekitar jam lima sore. Setelah mandi di kali belakang rumah guru sekolah, ia kemudian duduk-duduk di beranda rumah guru bersama dengan guru sekolah di Bori’. Mereka mendiskusikan beberapa cerita-cerita Alkitab yang akan diterjemahkan kedalam bahasa Toraja.
Ketika hari mulai gelab, tiba-tiba seseorang yang wajahnya telah dilumuri dengan arang sehingga menjadi sangat hitam dan sulit untuk dikenali, melompat ke beranda rumah tersebut. Tidak lama kemudian ia menghujamkan tombaknya ke dada Anton. Anton terjatuh dari atas kursi dan sang pembunuh melarikan diri. Saat itu ia terluka parah, salah seorang murid bermaksud untuk memanggil istri Anton di Barana’, namun Anton melarangnya ia berkata “Tidak usah! Sebentar lagi saya akan mati, sampaikan salam saya kepada Istri yang sangat saya cintai dan juga anak-anak saya, sekarang tinggalkan saya sendiri, saya ingin berdoa”. Dalam keadaan berdoa inilah Anton menghembuskan nafas terakhirnya. Darah seorang MARTIR telah tertumpah di Tana Toraja, untuk apa dan mengapa?
Menurut kesaksian dari beberapa orang, termasuk istri Anton, Kepala Polisi, dan bahkan pengakuan dari para pembunuh itu, penulis dapat menyimpulkan bahwa pembunuhan itu adalah sebuah pembunuhan berencana yang tujuannya memancing pemberontakan terhadap pemerintah Hindia Belanda. Peristiwa ini merupakan imbas dari keputusan pemerintah Hindia Belanda akan pembatasan hari perjudian. Sebelumnya pemerintah memberi isin dua belas hari untuk mengadakan perjudian, namun kemudian dikurangi menjadi empat hari. Akibatnya beberapa orang yang sudah sangat kecanduan terhadap judi bersumpah untuk membunuh controuler (wakil pemerintah Hindia Belanda, setingkat Camat). Dalam perjalanan mereka ke Rantepao pada sore tersebut, mereka melihat kedatangan Anton yang adalah orang Belanda, maka muncullah niat untuk juga membunuh Anton. Sungguh sangat disayangkan hal ini terjadi sebab ternyata pembunuh Anton adalah orang yang kenal dekat dengannya, bahkan anak dari pembunuh ini sangat rajin ke sekolah.
kisah perjuangan Anton dan Ida van der Loosdrecht yang rela menyeberangi lautan meninggalkan keluarga dan orang-orang yang disayangi demi masyarakat Toraja yang tidak pernah mereka kenal sebelumnya, menjadi bagian yang perlu kita teladani. Sungguh suatu pelayanan yang tidak akan pernah dapat dibalas oleh masyarakat Toraja secara umum dan Gereja Toraja secara khusus. Injil yang bertumbuh dan menjadi dasar terbentuknya Gereja Toraja adalah Injil yang dihiasi dengan darah MARTIR Anton Aris van der Loosdrecht.

mayat berjalan


Mayat BerjalanFenomena Mayat Berjalan di Tana toraja - Mayat berjalan, tidak hanya menjadi cerita dari Mamasa. Rupanya di Toraja pun ada cerita-cerita yang sama. Berikut ini cerita seorang blogger, pengalamannya menyaksikan mayat berjalan.

Cerita mayat berjalan sudah ada sejak dahulu kala. ratusan tahun yang lalu konon terjadi perang saudara di Tana toraja yakni orang Toraja Barat berperang melawan orang Toraja Timur. dalam peperangan tersebut orang Toraja Barat kalah telak karena sebagian besar dari mereka tewas, tetapi pada saat akan pulang ke kampung mereka seluruh mayat orang Toraja Barat berjalan.

Sedangkan orang Toraja Timur walaupun hanya sedikit yang tewas tetapi mereka menggotong mayat saudara mereka yang mati, karena kejadian tersebut maka peperangan tersebut dianggap seri. pada keturunan selanjutnya orang-orang Toraja sering menguburkan mayatnya dengan cara mayat tersebut berjalan sendiri ke liang kuburnya..

Fenomena “Mayat berjalan” itu saya sendiri pernah menyaksikannya secara langsung. kejadian tersebut terjadi sekitar tahun 1992 (saya baru kelas 3 SD). pada saat itu di desa saya ada seorang bernama Pongbarrak yang ibunya meninggal. seperti adat orang Toraja sang mayat tidak langsung dikuburkan tetapi masih harus melalui prosesi adat penguburan (rambu solo’). saat itu setelah dimandikan mayat sang ibu diletakkan di tempat tidur dalam sebuah kamar khusus sebelum dimasukkan kedalam peti jenasah. pada malam ketiga seluruh keluarga berkumpul untuk membicarakan bagaimana prosesi pemakaman yang akan dilaksanakan nanti.Warta Unik

saat itu saya duduk di teras rumah maklum anak-anak jadi suka mondar mandir. namun setelah rapat selesai (sekitar jam 10 malam), tiba-tiba ada kegaduhan dalam rumah dimana beberapa ibu-ibu berteriak -teriak. karena penasaran saya berusaha melongok ke dalam rumah dan astaga sang mayat berjalan keluar dari dalam kamar, kontan saja saya dan teman2 saya berteriak histeris dan berlari menuruni tangga. saya berlari dan mendapatkan ayah saya sambil histeris ketakutan. setelah itu saya langsung dibawa pulang kerumah oleh ayah dan saya tidak tahu apa yang terjadi selanjutnya. Keesokan harinya kejadian tersebut rupanya cukup heboh diperbincangkan oleh warga dan informasi yang saya dengar bahwa Pongbarrak yang melakukan hal tersebut. konon dia iseng aja untuk membuat lelucon pada malam itu.

Pada zaman sekarang sudah sangat jarang orang Toraja yang mempraktekkan hal tersebut walaupun masih banyak generasi yang memiliki ilmu seperti itu. akan tetapi mereka masih sering mempraktekkannya pada binatang seperti ayam atau kerbau yang diadu dalam keadaan leher terputus. Binatang seperti kerbau yang sudah dipotong kepalanya dan dikuliti habispun, masih bisa dibuat berdiri dan berlari kencang, mengamuk kesana sini.mayat berjalan

Dari Tana Toraja Menatap Mesir Kuno


Dari Tana Toraja Menatap Mesir KunoDari Tana Toraja Menatap Mesir Kuno
Tana Toraja yang akrab disapa “Tator” sebagai salah satu kabupaten di Sulsel, memiliki aneka simbol dan produk budaya yang sangat menarik diteliti. Berdasarkan hasil observasi yang dilakukan oleh Koes Hadinoto pada tahun 1989, susunan obyek wisata Tana Toraja terdiri atas: panorama alam, kebudayaan dan pola kehidupan masyarakat, peninggalan sejarah dan kepurbakalaan, upacara ritual rambu tuka’ dan rambu solo, seni tari dan kesenian, seni lukis, industri rumah dan kerajinan tangan.
Panorama alam nan indah sebagai ciri khas Tana Seribu Tongkonan ini, terdiri atas bukit-bukit batu menjulang tinggi, lembah-lembah yang hijau serta hamparan sawah yang berpetak-petak, sungguh merupakan anugerah sang pencipta yang patut disyukuri. Bahkan perpaduan harmonis antara alam yang indah dengan udara sejuk dan bersih ditandai oleh munculnya kabut di pagi hari tersebut merupakan unsur pendukung sejumlah daya pikat yang dimilikinya.
Berdasarkan catatan sejarah, Tana Toraja dahulu bernama Tondok Lepongan Bulan Tana Matarik Allo. Secara harafiah terminologi ini menggambarkan sebuah negeri yang bulat sebagai simbol kesatuan, bulat bagaikan bulan dan matahari. Secara filosofis diartikan sebagai sebuah negeri dimana bentuk pemerintahan serta masyarakatnya merupakan suatu kesatuan bulat, utuh dan tak terpisahkan. Ideologi pemersatu dan alat perekat sosio-kultural mereka, yakni keyakinan pada Aluk Todolo. Warisan leluhur ini memuat nilai-nilai atau aturan yang bersumber dari negeri Marinding Banua Puang yang dikenal dengan Aluk Pitung Sa’ bu Pitu Ratu’ Pitung Pulo Pitu atau Aluk Sanda Pitunna (aturan/agama 7777).
Para ahli sejarah dan ahli budaya telah menyatakan bahwa penduduk yang pertama-tama menguasai Tondok Lepongan Bulan Tana Matarik Allo pada zaman purba adalah penduduk yang berasal dari luar Sulawesi Selatan yang diperkirakan datang pada sekitar abad ke-6. Mereka datang dengan perahu/sampan melalui sungai- sungai yang besar, dan menuju ke pegunungan Sulawesi Selatan akhirnya menempati daerah pegunungan termasuk Tana Toraja. Kedatangan mereka secara berkelompok yang dalam sejarah Toraja dinamai Arroan (kelompok manusia ) dan menyusuri sungai-sungai dengan mempergunakan perahu. Segera setelah itu, mereka itu tak dapat lagi melanjutkan pelayaran karena air sungai deras dan berbatu-batu. Karena itu, mereka lalu menambat perahu-perahunya di pinggir-pinggir sungai dan tebing-tebing gunung yang dilalui oleh sungai. Kondisi pemukiman awal yang menggunakan perahu seperti inilah mungkin yang menjadi alasan mengapa dalam sejarah Toraja dan dongeng Toraja sangat terkenal suatu istilah yakni Banua di Toke(Banua = rumah di Toke’ = digantung).
Nama Toraja mulai dikenal setelah adanya hubungan Tondok Lepongan Bulan Tana Matarik Allo dengan daerah luar seperti Bugis Makassar. Kata Toraja berasal dari kata To yang berarti orang dan Riaja yang bermakna di atas atau orang yang berdiam di atas pegunungan sebelah utara daerah Sidenreng. Konon nama ini, diberikan oleh orang Bugis Luwu dan daratan Bugis lainnya. Dengan demikian, penggunaan istilah Toraja untuk pertama kali secara resmi dipakai untuk menyebut nama wilayah administratif pemerintahan Zelfbestuur Tana Toraja pada masa pemerintahan Negara Indonesia Timur (NIT) pada tahun 1947. Pada tahun 1959, wilayah ini menjadi daerah Kabupaten Tana Toraja di bawah pangkuan Negara Republik Indonesia.
Sejarah Tana Toraja berikut sejumlah warisan kultural yang dimiliki tersebut, tentu saja akan memikat setiap orang yang berkunjung. Bahkan akan merasa takjub seperti halnya sejarawan kondang sekaliber Herodotus yang menyatakan kekagumannya pada warisan kebudayaan Mesir kuno abad ke-5 SM. Keanehan Mesir berdasarkan hasil penelitian beliau setelah melakukan perjalanan wisata berkeliling negeri ini, pada masa berikutnya sempat dibuktikan oleh para peneliti. Bahkan mereka yang sempat melakukan perjalanan ilmiahnya di negeri Mesir, menurut catatan Lionel Casson dalam buah penanya “Ancient Egypt” merasa kerdil di hadapan patung-patung yang menjulang tinggi.
Keistimewaan dan daya tarik Tana Toraja terutama aneka warisan budayanya, tidaklah (mungkin belum) sebesar Mesir Kuno yang telah mempunyai reputasi internasional serta menjadi obyek penelitian masyarakat ilmiah dunia. Akan tetapi walaupun mereka yang mengunjungi secara fisik tidaklah merasa kerdil seperti halnya kaum ilmiawan melihat patung raksasa di Mesir, dapat dipastikan bahwa mereka yang mengunjungi Toraja secara ilmiah akan merasa kerdil pula. Maksudnya, ketika menelusuri aspek sosio-kultural masyarakat setempat sebagai patron budaya kekaguman itu akan muncul terutama pada ekspresi budaya yang dimanifestasikan melalui seni dan upacara suci.
Dalam tradisi dan budaya masyarakat Toraja sejak dahulu hingga kini, dikenal upacara Rambu Solo atau upacara pemakaman yang dilakukan pada saat matahari condong ke Barat. Modus pelaksanaannya berupa pengorbanan hewan yakni kerbau atau babi dilakukan di sebelah Barat dari rumah upacara. Pada umumnya upacara suci ini, diselenggarakan pasca panen terutama pada bulan Juni hingga bulan Oktober setiap tahun. Makna yang terkandung dalam upacara ritual ini yakni dimaksudkan agar jiwa (arwah) dari para mendiang dapat diterima dengan baik di sisi Tuhan.
Selain upacara ritual pemakaman (rambu solo), di kalangan masyarakat Toraja pun memiliki tradisi unik dalam mengurus jenazah yang membedakannya dengan daerah lain. Bukti konkret mengenai hal tersebut, tercermin melalui kuburan sisi batu karang terjal Londa yang terletak sekitar 310 km dari Makassar dan 30 km dari kota Makale. Untuk mengunjungi tempat ini, setiap orang harus menggunakan alat penerangan (lampu) atau lentera karena letak kuburan itu di dalam gua yang gelap. Gua-gua yang terbentuk secara alami selama berabad-abad lamanya mempunyai ruang yang lebar dan luas sehingga memungkinkan untuk menyimpan peti mayat di dalamnya.
Pemandangan unik lainnya yakni peletakan peti mayat pada gua itu yang diatur sedemikian rupa berdasarkan garis keluarga. Kuburan batu karang Londa yang terletak sekitar 5 km dari kota Rantepao tepatnya di desa Tikuna Malenong Kecamatan Sangalangi, secara ilmiah merupakan obyek penelitian yang sangat menarik terutama bagi mereka yang mendalami disiplin ilmu sejarah.
Satu hal yang tidak kalah menarik yakni pada makam kuno di Toraja terdapat patung-patung, yang tentu tujuannya sebagai alat untuk mengenang wajah seseorang yang dianggap mempunyai andil yang cukup penting dalam masyarakat. Karena itu, wajar jika pembuatan patung-patung dikhususkan pada para keluarga bangsawan Toraja.
Hal ini mirip dengan tradisi orang Mesir Kuno yang berdasarkan sejarahnya, mengenal ajaran tentang hidup abadi terutama bagi Fir’aun sesuai ajaran naskah keagamaan kuno. Sebagai pencerminan hidup abadi yakni mereka bersedia bekerja keras membuat pusara dan kuil besar yang terawetkan sejak 2000 tahun lalu. Nama raja atau penguasa yang dituliskan tersebut itulah yang dianggap sebagai keabadian, dimana orang akan selalu mengenangnya sepanjang masa.
Meskipun demikian, pertanyaan historis dan kegelisahan kultural yang muncul yakni akankah warisan budaya semolek “wajah” Tana Toraja ini akan tetap “kekal” sebagaimana wujud pengabadian wajah sejumlah figur melalui patung-patung itu?. Masih sanggupkah lafadz dzikir-dzikir sejarah yang berkumandang di antara setumpuk godaan “syaitan globalisasi” melawan ketidakpedulian orang pada dimensi masa lampau?. Di sinilah andil dan peran kita sebagai pemilik warisan budaya diperlukan untuk senantiasa merawatnya lewat kesadaran sejarah dan taubat budaya

cerita dongeng toraja Lebonna Paerengan Massudilallong


(Kisah Cinta Sehidup Semati)
ROMEO DAN JULIET VERSI TORAJA
Lebonna – PaerenganMassudilallong
Sebuah kisah cinta sehidup semati dua sejoli dimabuk asmara yang terjadi sejak zaman kuno(Jauh sebelum Romeo-Juliet di-filmkan) dan telah mengakar dan akan selalu dikenang dalam masyarakat adat Tana Toraja. Kisah cinta antara Lebonna dan kekasihnya Massudilalong Paerengan yang berakhir sangat tragis.
Tersebutlah Lebonna, seorang wanita cantik, berkulit putih, berhidung mancung, tinggi semampai dan berambut panjang dari Daerah Bau, Bonggakaradeng. Dalam perjalanan hidupnya, ia kemudian menjadi rebutan para lelaki, namun akhirnya ia jatuh hati pada seorang lelaki tampan, pemberani dan sakti bernama Massudilalong Paerengan.
Dalam jalinan hubungan asmaranya, kedua sejoli mengikat janji untuk sehidup semati, dan saat meninggal nanti, keduanya harus dimakamkan dalam satu peti mati.
Seiring berjalannya waktu, hubungan asmara keduanya semakin mesra, dan akhirnya banyak pria yang cemburu terhadap Paerengan yang berhasil merebut hati Lebonna, begitu juga banyak wanita yang cemburu terhadap Lebonna yang berhasil merebut hati Paerengan, pemuda tampan dan pemberani.
Namun, takdir berkata lain saat muncul kabar bahwa daerah tetangga akan melakukan penyerbuan, dan Paerengan yang memang dikenal sebagai ksatria, diminta untuk memimpin pasukan. Merekapun berangkat ke medan pertempuran untuk berperang (Mangrari).
Sementara itu Lebonna tinggal di Kampung sembari menenun menunggu kekasihnya kembali. Namun, saat terjadi pertempuran, salah seorang anak buah Paerengan diam-diam lari dari medan pertempuran, dengan maksud merebut Lebonna dengan menyampaikan kabar bohong mengenaikematian Paerengan, kepada Lebonna dengan berpura-pura sedih.
Mendengar kabar tentang kematian sang kekasih, Lebonna sangat terkejut dan tidak sanggup menerima kabar tersebut. Bahkan ia sampai mengurung diri dan tak mau makan selama beberapa hari.
Usaha anak buah Paerengan yang kabur dari medan perang itu ternyata tidak membuahkan hasil. Lebonna tak bergeming sedikitpun untuk dibujuk ataupun dirayu karena cintanya memang hanya untuk Paerengan. Tiap malam Lebonna selalu teringat akan janji yang telah ia sepakati bersama kekasihnya, Paerengan. Dan akhirnya, ia menepati janjinya untuk sehidup semati dengan kekasihnya dengan cara gantung diri.
Setelah tewas dan memilih gantung diri, demi membuktikan cinta sucinya, jenasah Lebonna kemudian dimakamkanyang terlebih dahulu harus melalui prosesi “dialuk”, kemudian dimakamkan di sebuah Liang batu, tepatnya di desa Salu Barana, Lembang Bua Kayu. Menurut cerita, pada saat mayat Lebonna di masukkan kedalam Liang, Pintu baru tiba-tiba tertutup rapat, dan rambut panjang Lebonna masih terurai keluar sampai bibir Gua. Menurut kepercayaan masyarakat Toraja, saat itu Lebonna masih belum rela masuk ke dalam Liang tanpa ditemani Massudilalong Paerengan, sang kekasih yang sudah mengikat janji dengannya untuk sehidup semati.
Bagaimana dengan Paerengan ? Paerengan pun kembali dari medan peperangan dengan kabar kemenangan, dan langsung menuju ke rumah Lebonna, kekasihnya yang sangat ia rindukan.
Namun alangkah terpukulnya Paerengan, Lebonna gadis yang sangat ia cintai telah pergi untuk selama-lamanya.
Setelah mengetahui Kekasih telah tiada, kehidupan Paerengan sangat tidak menentu. Dia yang dikenal sebagai kesatria sejati dan sangat disegani, kini hidup dalam kondisi tertutup. Setiap hari ia selau bersedih, dan menyendiri. Dilematis, Paerengan harus memilih memenuhi janjinya sehidup-semati dengan Lebonna atau hidup untuk membela wilayahnya wilayahnya dari serangan musuh.
Hari-haripun berlalu, tersebutlah seorang bernama Dodeng, Pembantu Paerengan yang sangat dekat dengan Paerengan. Dodeng memiliki sebuah pohon enau yang berdekatan dengan Liang kubur Lebonna. Pada suatu ketika, Dodeng terlambat mengambil nira/tuak,sehingga ia harus berangkat setelah petang hari. Saat mengambil Tuak, Dodeng mendengar suara yang tidak asing lagi, suara yang ia ketahui dan kenal sebagai suara Lebonna. Sebagian masyarakat Toraja percaya bahwa arwah seseorang yang meninggal dengan cara bunuh diri akan tidak tenang, seperti halnya arwah Lebonna.Apa pesan yang ingin disampaikan Lebonna kepada Dodeng untuka disampaikan kepada kekasihnya Paerengan-Massudilalong ? Dodeng mendengarkan suara jeritan Lebonna mengenai kekasihnya yang belum memenuhi janjinya untuk sehidup-semati. Pesan Lebonna kepada Massudilalong melalui Dodeng tersirat melalui lirik sebuah lagu :
Dodeng mangrambi mandedek, Dodeng ma’pa tuang-tuang, rampananpi pededekmu, annapi te kamali’ku …. ammu perangina’ mati’, ammu tanding talingana’…. Parampoanpa kadanku, pepasan mase-maseku, lako to Massudilalong, muane sangkalamma’ku…
Mukua duka la sang mateki e so’ eee…. Paerengan o… Rendengku.
Angku dolo, angku mate(…) tae’ si la matena, lasisarak sunga’na, (…) Ulli-ulli soladuka Borro sito’doan duka(…) o Rendengku….
Artinya kurang lebih; Hei.. Dodeng yang mengambil tuak, hentikanlah dahulu aktivitasmu…. Dengarlah pesan deritaku… untuk kekasihku Massudilalong…. Katanya akan sependeritaan… Juga sehidup-semati…. Tapi semuanya cuma hampa… saya telah lama mati, bunuh diri karena janji… sementara dia masih hidup.
Dodeng yang mendengar suara rintihan penuh permohonan itu, tak sanggup berbuat apa-apa. Ia terpaku. Saat tersadar, ia langsung lari ke rumah Paerengan dan tak sempat mengambil tuak lagi. Sesampai di rumah, ia langsung keringat dingin dan jatuh sakit
Namun PESAN Lebonna untuk kekasihnya tidak langsung disampaikan Dodeng, karena masih kurang percaya dengan apa yang ia dengar. Ia khawatir itu hanya khayalan belaka, kendati itu sempat membuatnya jatuh sakit. Akhirnya Dodeng kembali mencoba untuk mengambil ballo atau tuak, namun kali ini ia lebih awal datang. Alangkah terkejutnya Dodeng, suara itu kembali ia didengarkannya padahal belum terlalu gelap (malam). Mendengar suara sedih yang berintihkan pesan itu, Dodeng lalu mengambil langkah seribu tanpa menbawa tuak .
Akhirnya perubahan sikap Dodeng membuat Paerengan curiga. Ia kemudian mendesak Dodeng untuk menceritakan apa yang terjadi padanya, Dodeng pun tak tahan dan menyampaikan hal tesebut kepada Paerengan.
Tak yakin dengan cerita Dodeng, Paerengan pun ingin membuktikannya, sehingga keesokan harinya saat petang Paerengan ikut bersama Dodeng ke pohon enau, yg tak jauh dari pemakaman Lebonna. Setelah Dodeng naik keatas pohon enau, suara itu kembali terdengar. Paerengan yang hadir secara diam-diam menyimaknya dengan jelas. Setelah mendengar langsung pesan Lebonnaitu, Paerengan pun langsung ke rumahnya, masuk ke kamarnya dan menutup pintu rapat-rapat.ia sangt terpukul karena lalai dari janji setia yang telah disepakatinya bersama Lebonna; kekasih yang sangat dicintainya.
Tak menunggu lama Paerengan sang panglima perang meminta agar semua pasukannya berkumpul dengan membawa tombak. (Apa yang ingin dia lakukan ?) ia beralasan akan melaksanakan upacara merok yaitu ritual dengan menyembelih kerbau dengan cara ditombak.
Esoknya, semua tentara berkumpul di lapangan terbuka. Semua keluarga Paeengan juga hadir. Saat itu, puluhan kerbau telah disiapkan, para tentara juga telah membawatombak masing-masing. Paerengan kemudian meminta agar semua tentaranya menancapkan tombak dengan posisi mata tombak keatas. Saat semua warga dan tentara berkumpul, diam-diam Paerengan naik keatas atap pendopo yang memang sudah ada sebelumnya. Disangkanya akan menyampaikan pidato, namun ternyata ia justru melompat tepat diatas ratusan ujung tombak yang telah ditancapkan.
Paerengan pun tewas secara tragis, dan telah memenuhi janjinya. Pada saat Paerengan dimakamkan, bukan di tempat Lebonna dimakamkan,jenasah Paerengan selalu muncul lagi dirumahnya secara tiba-tiba. Kejadian ini terjadi tiga kali, sampai akhirnya Dodeng mengisahkan kejadian yang sebenarnya termasuk suara yang didengarnya saat hendak mengambil tuak. Setelah DIMAKAMKAN SATU LIANG DENGAN Lebonna, barulah mayat Paerengan menjadi tenang......................

*pentingnya kejujuran dan kesetiaan*
*yg baca jangan sekali-kali mengumbar janji yang belum tentu kita sanggup tepati.

cerita dongeng toraja la dana dan kerbau

La Dana dan Kerbau

kerbau toraja
La Dana adalah seorang anak petani dari Toraja. Ia sangat terkenal akan kecerdikannya. Kadangkala kecerdikan itu ia gunakan untuk memperdaya orang. Sehingga kecerdikan itu menjadi kelicikan.
Pada suatu hari ia bersama temannya diundang untuk menghadiri pesta kematian. Sudah menjadi kebiasaan di tanah toraja bahwa setiap tamu akan mendapat daging kerbau. La Dana diberi bagian kaki belakang dari kerbau. Sedangkan kawannya menerima hampir seluruh bagian kerbau itu kecuali bagian kaki belakang. Lalu La Dana mengusulkan pada temannya untuk menggabungkan daging-daging bagian itu dan menukarkannya dengan seekor kerbau hidup. Alasannya adalah mereka dapat memelihara hewan itu sampai gemuk sebelum disembelih. Mereka beruntung karena usulan tersebut diterima oleh tuan rumah.
Seminggu setelah itu La Dana mulai tidak sabar menunggu agar kerbaunya gemuk. Pada suatu hari ia mendatangi rumah temannya, dimana kerbau itu berada, dan berkata “Mari kita potong hewan ini, saya sudah ingin makan dagingnya.” Temannya menjawab, “Tunggulah sampai hewan itu agak gemuk.” Lalu La Dana mengusulkan, “Sebaiknya kita potong saja bagian saya, dan kamu bisa memelihara hewan itu selanjutnya.” Kawannya berpikir, kalau kaki belakang kerbau itu dipotong maka ia akan mati. Lalu kawannya membujuk La Dana agar ia mengurungkan niatnya. Ia menjanjikan La Dana untuk memberinya kaki depan dari kerbau itu.
Seminggu setelah itu La Dana datang lagi dan kembali meminta agar bagiannya dipotong. Sekali lagi kawannya membujuk. Ia dijanjikan bagian badan kerbau itu asal La Dana mau menunda maksudnya. Baru beberapa hari berselang La Dana sudah kembali kerumah temannya. Ia kembali meminta agar hewan itu dipotong. Kali ini kawannya sudah tidak sabar, dengan marah ia pun berkata, “Kenapa kamu tidak ambil saja kerbau ini sekalian! Dan jangan datang lagi untuk mengganggu saya.” La dana pun pulang dengan gembiranya sambil membawa seekor kerbau gemuk.

suku toraja


Suku Toraja
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Ini adalah versi yang telah diperiksa dari halaman initampilkan/sembunyikan detail
Ini adalah versi stabil, diperiksa pada tanggal 10 September 2011. Ada perubahan templat/berkas menunggu peninjauan.
Akurasi
Terperiksa
Langsung ke: navigasi, cari
Toraja
Célèbes 6543a.jpg
Anak perempuan Toraja pada upacara pernikahan
Jumlah populasi
650.000[1]
Kawasan dengan jumlah penduduk yang signifikan
Toraja-Sa'dan, Kalumpang, Mamasa, Ta'e, Talondo' dan Toala'.
Protestan: 65.15%, Katolik: 16.97%, Islam: 5.99% dan Aluk To Dolo: 5.99%.[1]
Kelompok etnis terdekat
Suku Toraja adalah suku yang menetap di pegunungan bagian utara Sulawesi Selatan, Indonesia. Populasinya diperkirakan sekitar 1 juta jiwa, dengan 500.000 di antaranya masih tinggal di Kabupaten Tana Toraja, Kabupaten Toraja Utara, dan Kabupaten Mamasa.[1] Mayoritas suku Toraja memeluk agama Kristen, sementara sebagian menganut Islam dan kepercayaan animisme yang dikenal sebagai Aluk To Dolo. Pemerintah Indonesia telah mengakui kepercayaan ini sebagai bagian dari Agama Hindu Dharma.[2]
Kata toraja berasal dari bahasa Bugis, to riaja, yang berarti "orang yang berdiam di negeri atas". Pemerintah kolonial Belanda menamai suku ini Toraja pada tahun 1909.[3] Suku Toraja terkenal akan ritual pemakaman, rumah adat tongkonan dan ukiran kayunya. Ritual pemakaman Toraja merupakan peristiwa sosial yang penting, biasanya dihadiri oleh ratusan orang dan berlangsung selama beberapa hari.
Sebelum abad ke-20, suku Toraja tinggal di desa-desa otonom. Mereka masih menganut animisme dan belum tersentuh oleh dunia luar. Pada awal tahun 1900-an, misionaris Belanda datang dan menyebarkan agama Kristen. Setelah semakin terbuka kepada dunia luar pada tahun 1970-an, kabupaten Tana Toraja menjadi lambang pariwisata Indonesia. Tana Toraja dimanfaatkan oleh pengembang pariwisata dan dipelajari oleh antropolog.[4] Masyarakat Toraja sejak tahun 1990-an mengalami transformasi budaya, dari masyarakat berkepercayaan tradisional dan agraris, menjadi masyarakat yang mayoritas beragama Kristen dan mengandalkan sektor pariwisata yang terus meningkat.[5]
Daftar isi
[sunting] Identitas etnis
Suku Toraja memiliki sedikit gagasan secara jelas mengenai diri mereka sebagai sebuah kelompok etnis sebelum abad ke-20. Sebelum penjajahan Belanda dan masa pengkristenan, suku Toraja, yang tinggal di daerah dataran tinggi, dikenali berdasarkan desa mereka, dan tidak beranggapan sebagai kelompok yang sama. Meskipun ritual-ritual menciptakan hubungan di antara desa-desa, ada banyak keragaman dalam dialek, hierarki sosial, dan berbagai praktik ritual di kawasan dataran tinggi Sulawesi. "Toraja" (dari bahasa pesisir ke, yang berarti orang, dan Riaja, dataran tinggi) pertama kali digunakan sebagai sebutan penduduk dataran rendah untuk penduduk dataran tinggi.[3] Akibatnya, pada awalnya "Toraja" lebih banyak memiliki hubungan perdagangan dengan orang luar—seperti suku Bugis dan suku Makassar, yang menghuni sebagian besar dataran rendah di Sulawesi—daripada dengan sesama suku di dataran tinggi. Kehadiran misionaris Belanda di dataran tinggi Toraja memunculkan kesadaran etnis Toraja di wilayah Sa'dan Toraja, dan identitas bersama ini tumbuh dengan bangkitnya pariwisata di Tana Toraja.[4] Sejak itu, Sulawesi Selatan memiliki empat kelompok etnis utama—suku Bugis (kaum mayoritas, meliputi pembuat kapal dan pelaut), suku Makassar (pedagang dan pelaut), suku Mandar (pedagang dan nelayan), dan suku Toraja (petani di dataran tinggi).[6]
[sunting] Sejarah
http://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/thumb/d/d3/Locator_of_toraja.png/220px-Locator_of_toraja.png
http://bits.wikimedia.org/skins-1.18/common/images/magnify-clip.png
Letak Toraja (hijau) di antara Makassar (kuning) dan Bugis (merah).
Teluk Tonkin, terletak antara Vietnam utara dan Cina selatan, dipercaya sebagai tempat asal suku Toraja.[7] Telah terjadi akulturasi panjang antara ras Melayu di Sulawesi dengan imigran Cina. Awalnya, imigran tersebut tinggal di wilayah pantai Sulawesi, namun akhirnya pindah ke dataran tinggi.
Sejak abad ke-17, Belanda mulai menancapkan kekuasaan perdagangan dan politik di Sulawesi melalui Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC). Selama dua abad, mereka mengacuhkan wilayah dataran tinggi Sulawesi tengah (tempat suku Toraja tinggal) karena sulit dicapai dan hanya memiliki sedikit lahan yang produktif. Pada akhir abad ke-19, Belanda mulai khawatir terhadap pesatnya penyebaran Islam di Sulawesi selatan, terutama di antara suku Makassar dan Bugis. Belanda melihat suku Toraja yang menganut animisme sebagai target yang potensial untuk dikristenkan. Pada tahun 1920-an, misi penyebaran agama Kristen mulai dijalankan dengan bantuan pemerintah kolonial Belanda.[2] Selain menyebarkan agama, Belanda juga menghapuskan perbudakan dan menerapkan pajak daerah. Sebuah garis digambarkan di sekitar wilayah Sa'dan dan disebut Tana Toraja. Tana Toraja awalnya merupakan subdivisi dari kerajaan Luwu yang mengklaim wilayah tersebut.[8] Pada tahun 1946, Belanda memberikan Tana Toraja status regentschap, dan Indonesia mengakuinya sebagai suatu kabupaten pada tahun 1957.[2]
Misionaris Belanda yang baru datang mendapat perlawanan kuat dari suku Toraja karena penghapusan jalur perdagangan yang menguntungkan Toraja.[9] Beberapa orang Toraja telah dipindahkan ke dataran rendah secara paksa oleh Belanda agar lebih mudah diatur. Pajak ditetapkan pada tingkat yang tinggi, dengan tujuan untuk menggerogoti kekayaan para elit masyarakat. Meskipun demikian, usaha-usaha Belanda tersebut tidak merusak budaya Toraja, dan hanya sedikit orang Toraja yang saat itu menjadi Kristen.[10] Pada tahun 1950, hanya 10% orang Toraja yang berubah agama menjadi Kristen.[9]
Penduduk Muslim di dataran rendah menyerang Toraja pada tahun 1930-an. Akibatnya, banyak orang Toraja yang ingin beraliansi dengan Belanda berpindah ke agama Kristen untuk mendapatkan perlindungan politik, dan agar dapat membentuk gerakan perlawanan terhadap orang-orang Bugis dan Makassar yang beragama Islam. Antara tahun 1951 dan 1965 setelah kemerdekaan Indonesia, Sulawesi Selatan mengalami kekacauan akibat pemberontakan yang dilancarkan Darul Islam, yang bertujuan untuk mendirikan sebuah negara Islam di Sulawesi. Perang gerilya yang berlangsung selama 15 tahun tersebut turut menyebabkan semakin banyak orang Toraja berpindah ke agama Kristen.[11]
Pada tahun 1965, sebuah dekret presiden mengharuskan seluruh penduduk Indonesia untuk menganut salah satu dari lima agama yang diakui: Islam, Kristen Protestan, Katolik, Hindu dan Buddha.[12] Kepercayaan asli Toraja (aluk) tidak diakui secara hukum, dan suku Toraja berupaya menentang dekret tersebut. Untuk membuat aluk sesuai dengan hukum, ia harus diterima sebagai bagian dari salah satu agama resmi. Pada tahun 1969, Aluk To Dolo dilegalkan sebagai bagian dari Agama Hindu Dharma.[2]
[sunting] Masyarakat
[sunting] Keluarga
http://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/thumb/5/51/Tana_Toraja.jpg/250px-Tana_Toraja.jpg
http://bits.wikimedia.org/skins-1.18/common/images/magnify-clip.png
Sebuah perkampungan suku Toraja
Keluarga adalah kelompok sosial dan politik utama dalam suku Toraja. Setiap desa adalah suatu keluarga besar. Setiap tongkonan memiliki nama yang dijadikan sebagai nama desa. Keluarga ikut memelihara persatuan desa. Pernikahan dengan sepupu jauh (sepupu keempat dan seterusnya) adalah praktek umum yang memperkuat hubungan kekerabatan.Suku Toraja melarang pernikahan dengan sepupu dekat (sampai dengan sepupu ketiga) kecuali untuk bangsawan, untuk mencegah penyebaran harta.[13] Hubungan kekerabatan berlangsung secara timbal balik, dalam artian bahwa keluarga besar saling menolong dalam pertanian, berbagi dalam ritual kerbau, dan saling membayarkan hutang.
Setiap orang menjadi anggota dari keluarga ibu dan ayahnya.[14] Anak, dengan demikian, mewarisi berbagai hal dari ibu dan ayahnya, termasuk tanah dan bahkan utang keluarga. Nama anak diberikan atas dasar kekerabatan, dan biasanya dipilih berdasarkan nama kerabat yang telah meninggal. Nama bibi, paman dan sepupu yang biasanya disebut atas nama ibu, ayah dan saudara kandung.
Sebelum adanya pemerintahan resmi oleh pemerintah kabupaten Tana Toraja, masing-masing desa melakukan pemerintahannya sendiri. Dalam situasi tertentu, ketika satu keluarga Toraja tidak bisa menangani masalah mereka sendiri, beberapa desabiasanya membentuk kelompok; kadang-kadang, bebrapa desa akan bersatu melawan desa-desa lain Hubungan antara keluarga diungkapkan melalui darah, perkawinan, dan berbagi rumah leluhur (tongkonan), secara praktis ditandai oleh pertukaran kerbau dan babi dalam ritual. Pertukaran tersebut tidak hanya membangun hubungan politik dan budaya antar keluarga tetapi juga menempatkan masing-masing orang dalam hierarki sosial: siapa yang menuangkan tuak, siapa yang membungkus mayat dan menyiapkan persembahan, tempat setiap orang boleh atau tidak boleh duduk, piring apa yang harus digunakan atau dihindari, dan bahkan potongan daging yang diperbolehkan untuk masing-masing orang.[15]
[sunting] Kelas sosial
Dalam masyarakat Toraja awal, hubungan keluarga bertalian dekat dengan kelas sosial. Ada tiga tingkatan kelas sosial: bangsawan, orang biasa, dan budak (perbudakan dihapuskan pada tahun 1909 oleh pemerintah Hindia Belanda). Kelas sosial diturunkan melalui ibu. Tidak diperbolehkan untuk menikahi perempuan dari kelas yang lebih rendah tetapi diizinkan untuk menikahi perempuan dari kelas yang lebih tingi, ini bertujuan untuk meningkatkan status pada keturunan berikutnya. Sikap merendahkan dari Bangsawan terhadap rakyat jelata masih dipertahankan hingga saat ini karena alasan martabat keluarga.[5]
Kaum bangsawan, yang dipercaya sebagai keturunan dari surga,[16] tinggal di tongkonan, sementara rakyat jelata tinggal di rumah yang lebih sederhana (pondok bambu yang disebut banua). Budak tinggal di gubuk kecil yang dibangun di dekat tongkonan milik tuan mereka. Rakyat jelata boleh menikahi siapa saja tetapi para bangsawan biasanya melakukan pernikahan dalam keluarga untuk menjaga kemurnian status mereka. Rakyat biasa dan budak dilarang mengadakan perayaan kematian. Meskipun didasarkan pada kekerabatan dan status keturunan, ada juga beberapa gerak sosial yang dapat memengaruhi status seseorang, seperti pernikahan atau perubahan jumlah kekayaan.[13] Kekayaan dihitung berdasarkan jumlah kerbau yang dimiliki.
Budak dalam masyarakat Toraja merupakan properti milik keluarga. Kadang-kadang orang Toraja menjadi budak karena terjerat utang dan membayarnya dengan cara menjadi budak. Budak bisa dibawa saat perang, dan perdagangan budak umum dilakukan. Budak bisa membeli kebebasan mereka, tetapi anak-anak mereka tetap mewarisi status budak. Budak tidak diperbolehkan memakai perunggu atau emas, makan dari piring yang sama dengan tuan mereka, atau berhubungan seksual dengan perempuan merdeka. Hukuman bagi pelanggaran tersebut yaitu hukuman mati.
[sunting] Agama
Sistem kepercayaan tradisional suku Toraja adalah kepercayaan animisme politeistik yang disebut aluk, atau "jalan" (kadang diterjemahkan sebagai "hukum"). Dalam mitos Toraja, leluhur orang Toraja datang dari surga dengan menggunakan tangga yang kemudian digunakan oleh suku Toraja sebagai cara berhubungan dengan Puang Matua, dewa pencipta.[17] Alam semesta, menurut aluk, dibagi menjadi dunia atas (Surga) dunia manusia (bumi), dan dunia bawah.[9] Pada awalnya, surga dan bumi menikah dan menghasilkan kegelapan, pemisah, dan kemudian muncul cahaya. Hewan tinggal di dunia bawah yang dilambangkan dengan tempat berbentuk persegi panjang yang dibatasi oleh empat pilar, bumi adalah tempat bagi umat manusia, dan surga terletak di atas, ditutupi dengan atap berbetuk pelana. Dewa-dewa Toraja lainnya adalah Pong Banggai di Rante (dewa bumi), Indo' Ongon-Ongon (dewi gempa bumi), Pong Lalondong (dewa kematian), Indo' Belo Tumbang (dewi pengobatan), dan lainnya.[18]
Kekuasaan di bumi yang kata-kata dan tindakannya harus dipegang baik dalam kehidupan pertanian maupun dalam upacara pemakaman, disebut to minaa (seorang pendeta aluk). Aluk bukan hanya sistem kepercayaan, tetapi juga merupakan gabungan dari hukum, agama, dan kebiasaaan. Aluk mengatur kehidupan bermasyarakat, praktik pertanian, dan ritual keagamaan. Tata cara Aluk bisa berbeda antara satu desa dengan desa lainnya. Satu hukum yang umum adalah peraturan bahwa ritual kematian dan kehidupan harus dipisahkan. Suku Toraja percaya bahwa ritual kematian akan menghancurkan jenazah jika pelaksanaannya digabung dengan ritual kehidupan.[19] Kedua ritual tersebut sama pentingnya. Ketika ada para misionaris dari Belanda, orang Kristen Toraja tidak diperbolehkan menghadiri atau menjalankan ritual kehidupan, tetapi diizinkan melakukan ritual kematian.[10] Akibatnya, ritual kematian masih sering dilakukan hingga saat ini, tetapi ritual kehidupan sudah mulai jarang dilaksanakan.
[sunting] Kebudayaan
[sunting] Tongkonan
http://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/thumb/a/ae/Toraja_house.jpg/250px-Toraja_house.jpg
http://bits.wikimedia.org/skins-1.18/common/images/magnify-clip.png
Tiga tongkonan di desa Toraja.
Tongkonan adalah rumah tradisional Toraja yang berdiri di atas tumpukan kayu dan dihiasi dengan ukiran berwarna merah, hitam, dan kuning. Kata "tongkonan" berasal dari bahasa Toraja tongkon ("duduk").
Tongkonan merupakan pusat kehidupan sosial suku Toraja. Ritual yang berhubungan dengan tongkonan sangatlah penting dalam kehidupan spiritual suku Toraja oleh karena itu semua anggota keluarga diharuskan ikut serta karena Tongkonan melambangan hubungan mereka dengan leluhur mereka.[15] Menurut cerita rakyat Toraja, tongkonan pertama dibangun di surga dengan empat tiang. Ketika leluhur suku Toraja turun ke bumi, dia meniru rumah tersebut dan menggelar upacara yang besar.[20]
Pembangunan tongkonan adalah pekerjaan yang melelahkan dan biasanya dilakukan dengan bantuan keluarga besar. Ada tiga jenis tongkonan. Tongkonan layuk adalah tempat kekuasaan tertinggi, yang digunakan sebagai pusat "pemerintahan". Tongkonan pekamberan adalah milik anggota keluarga yang memiliki wewenang tertentu dalam adat dan tradisi lokal sedangkan anggota keluarga biasa tinggal di tongkonan batu. Eksklusifitas kaum bangsawan atas tongkonan semakin berkurang seiring banyaknya rakyat biasa yang mencari pekerjaan yang menguntungkan di daerah lain di Indonesia. Setelah memperoleh cukup uang, orang biasa pun mampu membangun tongkonan yang besar.
[sunting] Ukiran kayu
http://upload.wikimedia.org/wikipedia/id/thumb/8/81/TorajaArt.JPG/250px-TorajaArt.JPG
http://bits.wikimedia.org/skins-1.18/common/images/magnify-clip.png
Ukiran kayu Toraja: setiap panel melambangkan niat baik.
Bahasa Toraja hanya diucapkan dan tidak memiliki sistem tulisan.[21] Untuk menunjukkan kosep keagamaan dan sosial, suku Toraja membuat ukiran kayu dan menyebutnya Pa'ssura (atau "tulisan"). Oleh karena itu, ukiran kayu merupakan perwujudan budaya Toraja.
Setiap ukiran memiliki nama khusus. Motifnya biasanya adalah hewan dan tanaman yang melambangkan kebajikan, contohnya tanaman air seperti gulma air dan hewan seperti kepiting dan kecebong yang melambangkan kesuburan. Gambar kiri memperlihatkan contoh ukiran kayu Toraja, terdiri atas 15 panel persegi. Panel tengah bawah melambangkan kerbau atau kekayaan, sebagai harapan agar suatu keluarga memperoleh banyak kerbau. Panel tengah melambangkan simpul dan kotak, sebuah harapan agar semua keturunan keluarga akan bahagia dan hidup dalam kedamaian, seperti barang-barang yang tersimpan dalam sebuah kotak. Kotak bagian kiri atas dan kanan atas melambangkan hewan air, menunjukkan kebutuhan untuk bergerak cepat dan bekerja keras, seperti hewan yang bergerak di permukaan air. Hal Ini juga menunjukkan adanya kebutuhan akan keahlian tertentu untuk menghasilkan hasil yang baik.
Keteraturan dan ketertiban merupakan ciri umum dalam ukiran kayu Toraja (lihat desain tabel di bawah), selain itu ukiran kayu Toraja juga abstrak dan geometris. Alam sering digunakan sebagai dasar dari ornamen Toraja, karena alam penuh dengan abstraksi dan geometri yang teratur.[21] Ornamen Toraja dipelajari dalam ethnomatematika dengan tujuan mengungkap struktur matematikanya meskipun suku Toraja membuat ukiran ini hanya berdasarkan taksiran mereka sendiri.[21] Suku Toraja menggunakan bambu untuk membuat oranamen geometris.
Beberapa motif ukiran Toraja
http://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/thumb/4/44/Torajan_pattern_-_pa%27tedong.png/150px-Torajan_pattern_-_pa%27tedong.png
http://bits.wikimedia.org/skins-1.18/common/images/magnify-clip.png
pa'tedong
(kerbau)
http://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/thumb/7/72/Torajan_pattern_-_pa%27barre_allo.png/150px-Torajan_pattern_-_pa%27barre_allo.png
http://bits.wikimedia.org/skins-1.18/common/images/magnify-clip.png
pa'barre allo
(matahari)
http://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/thumb/c/c3/Torajan_pattern_-_pa%27re%27po_sangbua.png/150px-Torajan_pattern_-_pa%27re%27po_sangbua.png
http://bits.wikimedia.org/skins-1.18/common/images/magnify-clip.png
pa're'po' sanguba
(menari)
http://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/thumb/3/34/Torajan_pattern_-_ne%27_limbongan.png/150px-Torajan_pattern_-_ne%27_limbongan.png
http://bits.wikimedia.org/skins-1.18/common/images/magnify-clip.png
ne'limbongan
(perancang legendaris)
sumber:[22]
[sunting] Upacara pemakaman
http://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/thumb/1/1d/Burial_Site_2.jpg/250px-Burial_Site_2.jpg
http://bits.wikimedia.org/skins-1.18/common/images/magnify-clip.png
Tempat penguburan Toraja yang diukir.
Dalam masyarakat Toraja, upacara pemakaman merupakan ritual yang paling penting dan berbiaya mahal. Semakin kaya dan berkuasa seseorang, maka biaya upacara pemakamannya akan semakin mahal. Dalam agama aluk, hanya keluarga bangsawan yang berhak menggelar pesta pemakaman yang besar. Pesta pemakaman seorang bangsawan biasanya dihadiri oleh ribuan orang dan berlangsung selama beberapa hari. Sebuah tempat prosesi pemakaman yang disebut rante biasanya disiapkan pada sebuah padang rumput yang luas, selain sebagai tempat pelayat yang hadir, juga sebagai tempat lumbung padi, dan berbagai perangkat pemakaman lainnya yang dibuat oleh keluarga yang ditinggalkan. Musik suling, nyanyian, lagu dan puisi, tangisan dan ratapan merupakan ekspresi duka cita yang dilakukan oleh suku Toraja tetapi semua itu tidak berlaku untuk pemakaman anak-anak, orang miskin, dan orang kelas rendah.[23]
Upacara pemakaman ini kadang-kadang baru digelar setelah berminggu-minggu, berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun sejak kematian yang bersangkutan, dengan tujuan agar keluarga yang ditinggalkan dapat mengumpulkan cukup uang untuk menutupi biaya pemakaman.[24] Suku Toraja percaya bahwa kematian bukanlah sesuatu yang datang dengan tiba-tiba tetapi merupakan sebuah proses yang bertahap menuju Puya (dunia arwah, atau akhirat). Dalam masa penungguan itu, jenazah dibungkus dengan beberapa helai kain dan disimpan di bawah tongkonan. Arwah orang mati dipercaya tetap tinggal di desa sampai upacara pemakaman selesai, setelah itu arwah akan melakukan perjalanan ke Puya.[25]
http://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/thumb/1/15/Burial_Site_3.jpg/250px-Burial_Site_3.jpg
http://bits.wikimedia.org/skins-1.18/common/images/magnify-clip.png
Sebuah makam.
Bagian lain dari pemakaman adalah penyembelihan kerbau. Semakin berkuasa seseorang maka semakin banyak kerbau yang disembelih. Penyembelihan dilakukan dengan menggunakan golok. Bangkai kerbau, termasuk kepalanya, dijajarkan di padang, menunggu pemiliknya, yang sedang dalam "masa tertidur". Suku Toraja percaya bahwa arwah membutuhkan kerbau untuk melakukan perjalanannya dan akan lebih cepat sampai di Puya jika ada banyak kerbau. Penyembelihan puluhan kerbau dan ratusan babi merupakan puncak upacara pemakaman yang diringi musik dan tarian para pemuda yang menangkap darah yang muncrat dengan bambu panjang. Sebagian daging tersebut diberikan kepada para tamu dan dicatat karena hal itu akan dianggap sebagai utang pada keluarga almarhum.[26]
Ada tiga cara pemakaman: Peti mati dapat disimpan di dalam gua, atau di makam batu berukir, atau digantung di tebing. Orang kaya kadang-kadang dikubur di makam batu berukir. Makam tersebut biasanya mahal dan waktu pembuatannya sekitar beberapa bulan. Di beberapa daerah, gua batu digunakan untuk meyimpan jenazah seluruh anggota keluarga. Patung kayu yang disebut tau tau biasanya diletakkan di gua dan menghadap ke luar.[27] Peti mati bayi atau anak-anak digantung dengan tali di sisi tebing. Tali tersebut biasanya bertahan selama setahun sebelum membusuk dan membuat petinya terjatuh.
[sunting] Musik dan Tarian
Suku Toraja melakukan tarian dalam beberapa acara, kebanyakan dalam upacara penguburan. Mereka menari untuk menunjukkan rasa duka cita, dan untuk menghormati sekaligus menyemangati arwah almarhum karena sang arwah akan menjalani perjalanan panjang menuju akhirat. Pertama-tama, sekelompok pria membentuk lingkaran dan menyanyikan lagu sepanjang malam untuk menghormati almarhum (ritual terseebut disebut Ma'badong).[6][26] Ritual tersebut dianggap sebagai komponen terpenting dalam upacara pemakaman.[23] Pada hari kedua pemakaman, tarian prajurit Ma'randing ditampilkan untuk memuji keberanian almarhum semasa hidupnya. Beberapa orang pria melakukan tarian dengan pedang, prisai besar dari kulit kerbau, helm tanduk kerbau, dan berbagai ornamen lainnya. Tarian Ma'randing mengawali prosesi ketika jenazah dibawa dari lumbung padi menuju rante, tempat upacara pemakaman. Selama upacara, para perempuan dewasa melakukan tarian Ma'katia sambil bernyanyi dan mengenakan kostum baju berbulu. Tarian Ma'akatia bertujuan untuk mengingatkan hadirin pada kemurahan hati dan kesetiaan almarhum. Setelah penyembelihan kerbau dan babi, sekelompok anak lelaki dan perempuan bertepuk tangan sambil melakukan tarian ceria yang disebut Ma'dondan.
http://upload.wikimedia.org/wikipedia/id/thumb/8/8c/Manganda_dance.jpg/250px-Manganda_dance.jpg
http://bits.wikimedia.org/skins-1.18/common/images/magnify-clip.png
Tarian Manganda' ditampilkan pada ritual Ma'Bua'.
Seperti di masyarakat agraris lainnya, suku Toraja bernyanyi dan menari selama musim panen. Tarian Ma'bugi dilakukan untuk merayakan Hari Pengucapan Syukur dan tarian Ma'gandangi ditampilkan ketika suku Toraja sedang menumbuk beras[28] Ada beberapa tarian perang, misalnya tarian Manimbong yang dilakukan oleh pria dan kemudian diikuti oleh tarian Ma'dandan oleh perempuan. Agama Aluk mengatur kapan dan bagaimana suku Toraja menari. Sebuah tarian yang disebut Ma'bua hanya bisa dilakukan 12 tahun sekali. Ma'bua adalah upacara Toraja yang penting ketika pemuka agama mengenakan kepala kerbau dan menari di sekeliling pohon suci.
Alat musik tradisional Toraja adalah suling bambu yang disebut Pa'suling. Suling berlubang enam ini dimainkan pada banyak tarian, seperti pada tarian Ma'bondensan, ketika alat ini dimainkan bersama sekelompok pria yang menari dengan tidak berbaju dan berkuku jari panjang. Suku Toraja juga mempunyai alat musik lainnya, misalnya Pa'pelle yang dibuat dari daun palem dan dimainkan pada waktu panen dan ketika upacara pembukaan rumah.[29]
[sunting] Bahasa
Bahasa Toraja adalah bahasa yang dominan di Tana Toraja, dengan Sa'dan Toraja sebagai dialek bahasa yang utama. Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional adalah bahasa resmi dan digunakan oleh masyarakat,[1] akan tetapi bahasa Toraja pun diajarkan di semua sekolah dasar di Tana Toraja.
Ragam bahasa di Toraja antara lain Kalumpang, Mamasa, Tae' , Talondo' , Toala' , dan Toraja-Sa'dan, dan termasuk dalam rumpun bahasa Melayu-Polinesia dari bahasa Austronesia.[30] Pada mulanya, sifat geografis Tana Toraja yang terisolasi membentuk banyak dialek dalam bahasa Toraja itu sendiri. Setelah adanya pemerintahan resmi di Tana Toraja, beberapa dialek Toraja menjadi terpengaruh oleh bahasa lain melalui proses transmigrasi, yang diperkenalkan sejak masa penjajahan. Hal itu adalah penyebab utama dari keragaman dalam bahasa Toraja.[6]
Keragaman dalam bahasa Toraja
Denominasi
Populasi (pada tahun)
Dialek
Kalumpang
12,000 (1991)
Karataun, Mablei, Mangki (E'da), Bone Hau (Ta'da).
Mamasa
100,000 (1991)
Mamasa Utara, Mamasa tengah, Pattae' (Mamasa Selatan, Patta' Binuang, Binuang, Tae', Binuang-Paki-Batetanga-Anteapi)
Ta'e
250,000 (1992)
Rongkong, Luwu Timur Laut, Luwu Selatan, Bua.
Talondo'
500 (1986)
Toala'
30,000 (1983)
Toala', Palili'.
Torajan-Sa'dan
500,000 (1990)
Makale (Tallulembangna), Rantepao (Kesu'), Toraja Barat (Toraja Barat, Mappa-Pana).
Sumber: Gordon (2005).[30]
Ciri yang menonjol dalam bahasa Toraja adalah gagasan tentang duka cita kematian. Pentingnya upacara kematian di Toraja telah membuat bahasa mereka dapat mengekspresikan perasaan duka cita dan proses berkabung dalam beberapa tingkatan yang rumit.[23] Bahasa Toraja mempunyai banyak istilah untuk menunjukkan kesedihan, kerinduan, depresi, dan tekanan mental. Merupakan suatu katarsis bagi orang Toraja apabila dapat secara jelas menunjukkan pengaruh dari peristiwa kehilangan seseorang; hal tersebut kadang-kadang juga ditujukan untuk mengurangi penderitaan karena duka cita itu sendiri.
[sunting] Ekonomi
Sebelum masa Orde Baru, ekonomi Toraja bergantung pada pertanian dengan adanya terasering di lereng-lereng gunung dan bahan makanan pendukungnya adalah singkong dan jagung. Banyak waktu dan tenaga dihabiskan suku Toraja untuk berternak kerbau, babi, dan ayam yang dibutuhkan terutama untuk upacara pengorbanan dan sebagai makanan.[11] Satu-satunya industri pertanian di Toraja adalah pabrik kopi Jepang, Kopi Toraja.
Dengan dimulainya Orde Baru pada tahun 1965, ekonomi Indonesia mulai berkembang dan membuka diri pada investasi asing. Banyak perusahaan minyak dan pertambangan Multinasional membuka usaha baru di Indonesia. Masyarakat Toraja, khususnya generasi muda, banyak yang berpindah untuk bekerja di perusahaan asing. Mereka pergi ke Kalimantan untuk kayu dan minyak, ke Papua untuk menambang, dan ke kota-kota di Sulawesi dan Jawa. Perpindahan ini terjadi sampai tahun 1985.[2]
Ekonomi Toraja secara bertahap beralih menjadi pariwisata berawal pada tahun 1984. Antara tahun 1984 dan 1997, masyarakat Toraja memperoleh pendapatan dengan bekerja di hotel, menjadi pemandu wisata, atau menjual cinderamata. Timbulnya ketidakstabilan politik dan ekonomi Indonesia pada akhir 1990-an (termasuk berbagai konflik agama di Sulawesi) telah menyebabkan pariwisata Toraja menurun secara drastis. Toraja lalu dkenal sebagai tempat asal dari kopi Indonesia. Kopi Arabika ini terutama dijalankan oleh pengusaha kecil.
[sunting] Komersialisasi
http://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/thumb/6/6e/Toraja_tumbs.jpg/230px-Toraja_tumbs.jpg
http://bits.wikimedia.org/skins-1.18/common/images/magnify-clip.png
Makam suku Toraja di tebing tinggi berbatu adalah salah satu tempat wisata di Tana Toraja.
Sebelum tahun 1970-an, Toraja hampir tidak dikenal oleh wisatawan barat. Pada tahun 1971, sekitar 50 orang Eropa mengunjungi Tana Toraja. Pada 1972, sedikitnya 400 orang turis menghadiri upacara pemakaman Puang dari Sangalla, bangsawan tertinggi di Tana Toraja dan bangsawan Toraja terakhir yang berdarah murni. Peristiwa tersebut didokumentasikan oleh National Geographic dan disiarkan di beberapa negara Eropa.[2] Pada 1976, sekitar 12,000 wisatawan mengunjungi Toraja dan pada 1981, seni patung Toraja dipamerkan di banyak museum di Amerika Utara.[31] "Tanah raja-raja surgawi di Toraja", seperti yang tertulis di brosur pameran, telah menarik minat dunia luar..
Pada tahun 1984, Kementerian Pariwisata Indonesia menyatakan Kabupaten Toraja sebagai primadona Sulawesi Selatan. Tana Toraja dipromosikan sebagai "perhentian kedua setelah Bali".[5] Pariwisata menjadi sangat meningkat: menjelang tahun 1985, terdapat 150.000 wisatawan asing yang mengunjungi Tana Toraja (selain 80.000 turis domestik),[4] dan jumlah pengunjung asing tahunan tercatat sebanyak 40.000 orang pada tahun 1989.[2] Suvenir dijual di Rantepao, pusat kebudayaan Toraja, banyak hotel dan restoran wisata yang dibuka, selain itu dibuat sebuah lapangan udara baru pada tahun 1981.[15]
Para pengembang pariwisata menjadikan Toraja sebagai daerah petualangan yang eksotis, memiliki kekayaan budaya dan terpencil. Wisatawan Barat dianjurkan untuk mengunjungi desa zaman batu dan pemakaman purbakala. Toraja adalah tempat bagi wisatawan yang telah mengunjungi Bali dan ingin melihat pulau-pulau lain yang liar dan "belum tersentuh".[2] Tetapi suku Toraja merasa bahwa tongkonan dan berbagai ritual Toraja lainnya telah dijadikan sarana mengeruk keuntungan, dan mengeluh bahwa hal tersebut terlalu dikomersilkan. Hal ini berakibat pada beberapa bentrokan antara masyarakat Toraja dan pengembang pariwisata, yang dianggap sebagai orang luar oleh suku Toraja.[4]
Bentrokan antara para pemimpin lokal Toraja dan pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan (sebagai pengembang wisata) terjadi pada tahun 1985. Pemerintah menjadikan 18 desa Toraja dan tempat pemakaman tradisional sebagai "objek wisata". Akibatnya, beberapa pembatasan diterapkan pada daerah-daerah tersebut, misalnya orang Toraja dilarang mengubah tongkonan dan tempat pemakaman mereka. Hal tersebut ditentang oleh beberapa pemuka masyarakat Toraja, karena mereka merasa bahwa ritual dan tradisi mereka telah ditentukan oleh pihak luar. Akibatnya, pada tahun 1987 desa Kete Kesu dan beberapa desa lainnya yang ditunjuk sebagai "objek wisata" menutup pintu mereka dari wisatawan. Namun penutupan ini hanya berlangsung beberapa hari saja karena penduduk desa merasa sulit bertahan hidup tanpa pendapatan dari penjualan suvenir.[4]
Pariwisata juga turut mengubah masyarakat Toraja. Dahulu terdapat sebuah ritual yang memungkinkan rakyat biasa untuk menikahi bangsawan (Puang), dan dengan demikian anak mereka akan mendapatkan gelar bangsawan. Namun, citra masyarakat Toraja yang diciptakan untuk para wisatawan telah mengikis hirarki tradisionalnya yang ketat,[5] sehingga status kehormatan tidak lagi dipandang seperti sebelumnya. Banyak laki-laki biasa dapat saja menyatakan diri dan anak-anak mereka sebagai bangsawan, dengan cara memperoleh kekayaan yang cukup lalu menikahi perempuan bangsawan.
[sunting] Filosofi Tau
Secara sadar atau tidak sadar, masyarakat toraja hidup dan tumbuh dalam sebuah tatanan masyarakat yang menganut filosofi tau. Filosofi tau dibutuhkan sebagai pegangan dan arah menjadi manusia (manusia="tau" dalam bahasa toraja) sesungguhnya dalam konteks masyarakat toraja. Filosofi tau memiliki empat pilar utama yang mengharuskan setiap masyarakat toraja untuk menggapainya, antara lain: - Sugi' (Kaya) - Barani (Berani) - Manarang (Pintar) - Kinawa (memiliki nilai-nilai luhur, agamis, bijaksana) Keempat pilar di atas tidak dapat di tafsirkan secara bebas karena memiliki makna yang lebih dalam daripada pemahaman kata secara bebas. Seorang toraja menjadi manusia yang sesungguhnya ketika dia telah memiliki dan hidup sebagai Tau.